Shirei sering mendapatkan kalimat, “Kalau nulis novel tuh harus Show don’t Tell! Biar pembaca bisa meresapi apa yang terjadi.”
Nah, apa sih Show don’t Tell itu? Kenapa dia begitu dikumandangkan ke seluruh penjuru bumi? Seberapa sakti dia untuk membuat novel kita menjadi lebih hidup? Ehehehe
Postingan kali ini akan membahas tentang bagaimana cocoknya Show don’t Tell diterapkan dalam cerita.
Menulis itu Menunjukkan, Bukan Mengatakan
Sederhananya, jika kita menulis novel, jangan serta merta menulis seperti urutan kejadian yang lurus tanpa ada hiasan sama sekali.
Banyak yang kurang mampu membedakan antara menulis laporan kejadian dengan menulis novel. Dalam novel ada berbagai macam faktor yang mendukung. Ada seting, karakteristik, dll
Meski dalam contoh di post Tips Menulis Novel Gratis kali ini, Shirei enggak kasih semua faktor untuk masuk, tapi semoga tetap bisa dimengerti perbedaannya
â›” Contoh salah :
Syaira menangis, lalu mengambil tisu, kemudian mengelap air mata yang tumpah. Setelah tisunya basah, dia melemparnya ke tempat sampah. Hatinya begitu sedih hingga ia tak bisa berhenti menangis.
——
Apa enggak ambyar itu feeling-nya?
Si sana kayak pembaca berita lagi melaporkan kejadian penyebab terjadinya suatu peristiwa. Datar dan lurus tanpa emosi sama sekali.
â›” Contoh salah 2 :
Syaira mengeluarkan cairan sebening kristal dari matanya. Tetes demi tetes menyiratkan duka mendalam yang terus mengoyak jiwa. Sudah seminggu ini dia berbenguk. Bahkan helai putih terus teronggok di ranjang. Ia ingin mencuarkan darah dari nadi yang menjantang di tangannya.
———
Ini juga ambyar. Terlalu menyodorkam kosakata baru, kiasan-kiasan yang terlalu rapat satu sama lain bikin enggak fokus. Bahkan mungkin pembacanya perlu buka KBBI dulu supaya bisa memahami itu paragraf isinya apaan sih.
Menulis itu Menunjukkan, Bukan Mengatakan
Banyak juga yang sering bingung kenapaa kok novelnya ‘garing’. Salah satu alasan karena kita terlalu berusaha mengatakan, bukan menunjukkan.
Alias, kita terlalu TELL bukan SHOW.
Di sisi lain, ada yang justru terlalu berpuitis, lalu kehilangan esensi cerita sebenarnya karena sibuk menyusun kata dan frasa indah seperti contoh nomor dua.
Kita terlalu SHOW dan kurang lugas.
Contoh 1 dan 2 menjelaskan ada beda signifikan antara terlalu Tell dan terlalu Show. Keduanya butuh KESEIMBANGAN.
Contoh yang seimbang :
TELL :
Aguri lapar. Perutnya terasa keroncongan kala mencium aroma roti. Sayang, uangnya terbatas.
SHOW :
Air liur Aguri menetes kala mencium aroma roti yang menggelitik hidung. Perutnya merintih. Pemuda itu ingin sekali menyuapkan roti lembut itu ke mulutnya. Sayang sekali, saat ini ia tak punya uang sepeser pun. Ah … seandainya menjadi Makai Knight bisa menghasilkan uang juga, tentu ia tak kelaparan seperti ini.
Aguri – Garo Yami o Terasu Mono.
Jadi, meski orang-orang selalu mengatakan Menulis itu Menunjukkan, Bukan Mengatakan, sekali lagi, buat Shirei itu namanya keseimbangan.
Tujuan utama menulis novel adalah membuat pembaca terhanyut dengan cerita. Kalau terlalu puitis ya susah dicerna, kalau terlalu lugas ya susah diresapi.
Kalau kata orang dulu … Yang sedang-sedang sajaaaa. (plak)
Jadi, sekian post tentang Menulis itu Menunjukkan, Bukan Mengatakan.
Kalian suka tipe yang mana? Show? Tell? Gabungan?