Fanfic : Gemuruh Batin

Mentoring teori kepenulisan, Asistensi Sinopsis lengkap, Edit Naskah, dan Mentoring Menulis Privat 2024-2025

Untuk info langsung WHATSAPP 0812-12-707-424 atau klik DI SINI

Dapatkan Informasi Postingan Terbaru Follow Tips Menulis Novel Gratis on WordPress.com

Sword Master 2016

Rewrite Original Novel Pendekar Pedang Tuan Muda Ketiga San Shao Ye Di Jian The Third Master’s Sword 三少爺的劍 (Sān shàoyé de jiàn)

Karya: Khu Lung / Gu Long

Disadur Oleh: Tjan ID

Fanfic : Gemuruh Batin

Semua seperti gerakan lambat ketika Nenek dilempar ke atas oleh Si Mata Runcing

Semua seperti gerakan lambat ketika Nenek dilempar ke atas oleh Si Mata Runcing. A-chi merasakan seluruh tubuhnya menegang. Ia takut untuk maju, ia takut jika harus bertempur. Ia hanya A-chi yang tidak berguna. Bahkan ketika tubuh renta nan rapuh itu menghunjam bumi, pria itu hanya bisa menggigit giginya sendiri.

Pria berbaju kumal itu tak pernah menyangka kalau gerombolan yang baru saja menerobos masuk, berani membunuh nenek tua yang beberapa hari terakhir merawatnya penuh kasih. Boneka menggerung memeluk ibunya yang terkulai tanpa daya di lantai tanah yang kotor.

>A-chi membeku di tempatnya. Telinganya berdengung menyakitkan setiap mendengar jeritan tak berdaya wanita cantik itu. Bahkan ketika kakak laki-laki Boneka-Lo Biau-cu-yang terluka parah menerjang murka ke arah pembunuh ibunya, A-chi masih tak jua mampu memindahkan kakinya.

Bola mata hitam A-chi bergerak tak keruan. Seolah seluruh syaraf di kepala memaksanya untuk menahan semua guncangan batin yang terus mendera.

Lo Biau-cu sudah terluka parah dihajar bajingan itu sebelum tiba di rumah. Tubuh dengan lima luka bacok, tiga iga patah, dan wajah yang nyaris sudah tidak terlihat bentuknya ternyata masih menyimpan tenaga untuk berjuang. Ia tak bisa membiarkan ibu mereka mati sia-sia. Pria gempal itu meraung seperti harimau terluka dan menerjang ke depan.

“Kau ingin mati juga?!” ancam Si Mata Runcing dengan nada mengerikan. Ia memutar pisau dapur di tangannya. Dengan atau tanpa senjata, membunuh Lo Biau-cu hanyalah seperti mengerjapkan mata.

Si Mata Runcing bermaksud menusukkan pisaunya, ke dada Lo Biau-cu secepat kilat. Berusaha menembus jantungnya dan menghentikan nyawa yang rapuh itu. Namun, Si Mata Runcing terperanjat ketika pisaunya hanya menusuk angin.

BACA JUGA :  Event Cerita Sambung - Rumbel Menulis IIP Depok Part 1

A-chi berdiri terhuyung setelah berhasil mendorong Lo Biau-cu menghindari maut. Ia menjadikan dirinya sebagai benteng antara Si Mata Runcing dan sahabat barunya yang terluka parah itu.

“Ka … kalian….” Suara napas A-chi sama sekali tak beraturan. “Kalian terlalu menyiksa orang. Terlalu menyiksa orang…,” rintihnya parau.

Ia tak lagi mampu melanjutkan kata-katanya. Dadanya sesak. Gelenyar panas itu semakin menguasai tubuhnya. Mengeraskan setiap jengkal syaraf yang terasa. A-chi merasakan kengerian itu datang. Hawa dingin yang ingin ia lupakan.

Boneka semakin ketakutan saat mengedarkan pandangannya. Ada empat begundal yang menyerang mereka kali ini. Mata Runcing yang mendominasi serangan, dua ahli jagal berbadan besar, dan satu kusir kuda bertampang perlente memuakkan. Apa ia akan dihabisi mereka berempat?

Pria bermata runcing itu tertawa dingin. “Apa kau ingin membalas dendam?!”

“Aku … Aku….” A-chi tergugu.

Si Mata Runcing mengangsurkan pisau dapur ke arah A-chi. “Coba bunuh aku. Maka kuanggap kau laki-laki sejati,” cibirnya.

A-chi tidak menyambut pisau dapur itu. Ia tak mau. Pisau itu terlihat begitu mengerikan. Seolah ada darah yang menetes tiada hentinya. Tangannya masih gemetar keras, sekujur tubuhnya ikut bergetar, tanpa bisa dihentikan.

Laki-laki bermata runcing itu tergelak dan langsung menarik rambut panjang halus Boneka. “Jalan!”

Boneka berusaha berontak, tapi sia-sia. Baru ia terseret beberapa langkah, gerakannya terhenti.

Seseorang menahan gerakan Si Mata Runcing. Mencekal lengan yang menarik Boneka dengan kuat. Genggaman dengan tenaga yang mampu membuat Mata Runcing merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.

A-chi tak berani menatap Si Mata Runcing ketika bajingan itu berteriak menanyakan apa ia telah berani melawan karena telah berani mencekalnya.

“Aku tidak berani.” A-chi menggeleng lemah. “Aku adalah manusia tak becus, aku tak berani membunuh orang, aku pun tak ingin membunuh orang.” Pelan-pelan ia mengendorkan genggamannya. Kembali berkutat pada dirinya sendiri. Pada seluruh emosi yang bergolak makin tak terkendali.

“Kalau begitu, akulah yang akan membunuhmu!” teriak laki-laki bermata runcing itu dengan buas.

BACA JUGA :  Monokrom - 27 - Akhir perjalanan

Dengan gerakan secepat kilat, pisau dapur itu langsung neluncur ke arah tenggorokan A-chi.

Hawa dingin itu menerjang, melepas semua kendali yang selama ini A-chi genggam susah payah.

Ia masih tak bergerak ketika pisau itu hanya berjarak beberapa jengkal dari lehernya. Ia memang tak ingin dan tak perlu bergerak. Karena tak sampai sepersekian detik, lengan terlatihnya menegang dan dengan gerakan sangat halus tapi bertenaga, A-chi melayangkan tinjunya ke arah dagu bagian bawah si Mata Runcing.

Tubuh Mata Runcing terangkat ke udara sebelum terdorong ke arah belakang untuk kemudian menembus dinding rumah dan terhempas lagi hingga menumbuk bumi. Sekujur tubuh Mata Runcing seperti agar-agar. Ia tak lagi punya kemampuan untuk bangkit berdiri.

Serangan itu membuat semua yang ada di ruangan terkesiap. A-chi yang tidak berguna bisa membuat seorang pendekar pedang roboh hanya dengan satu pukulan!

A-Chi sama sekali tidak memandang ke arah mereka. Sepasang mata cokelatnya terasa kosong melompong. Ia berdiri dengan ekspresi yang seolah kehilangan seluruh perasaannya, sama sekali tanpa emosi. Hampa. Seakan-akan perbuatan tadi justru menambah penderitaan dan siksaan dalam batinnya.

“Bunuh dia!” Kusir kuda yang selama ini terdiam, mengamuk.

Sempat ada keraguan di mata dua ahli jagal bertubuh besar itu. Namun, A-chi jelas kalah ukuran. Akhirnya keduanya mencabut belati tajam yang pernah menusuk A-chi di rumah bordil untuk kembali merasakan daging dan darah pria itu.

Namun, semua hanya harapan. Ketika akhirnya mereka maju menusukkan belati itu, A-chi memundurkan tubuhnya, menangkap pergelangan mereka yang menggenggam belati dan merampasnya dengan gerakan efisien. Kemudian nyaris tanpa jeda, ia menarik mereka mendekat agar urat nadi leher lawannya terlihat jelas.

Begitu cepat, bahkan tak seorang pun termasuk dua ahli jagal itu bisa melihat gerakannya. A-chi menggenggam belati di kedua tangannya. Memutar ke dalam dadanya sebelum merentangkan tangannya dengan sangat cepat dan bertenaga, menebas urat nadi leher kedua lawannya. Energi dari gerakan yang begitu cepat membuat keduanya berputar di udara sebelum roboh bersimbah darah di tanah.

BACA JUGA :  Blood Beyond the Blue Gate Bab 28

Tak ada jeritan, tak ada ketakutan. Nyawa mereka lenyap bahkan sebelum keduanya menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Paras Kusir Kereta memucat seperti mayat. Tanpa sadar ia bergerak ke belakang.

A-chi sama sekali tidak memandang ke arahnya walau cuma sekejap. Pandangannya menunduk dalam seraya melempar belati yang terus meneteskan sisa darah.

“Berhenti!” A-chi berkata tanpa ekspresi juga nada.

Kusir kuda takut setengah mati dan jadi penurut.

“Sungguh, aku sudah tak ingin membunuh lagi,” rintih A-chi lemah. “Mengapa kalian memaksaku terus?” Kali ini A-chi terdengar meronta, tapi juga berduka.

Kemudian A-chi menundukkan kepala seraya memandang sepasang tangannya dengan wajah sedih dan penuh penderitaan. Seluruh jiwanya hancur. Hawa dingin itu telah kembali merasuk ke tubuhnya. Hawa pembunuh yang ingin ia tinggalkan.

Ya, ia sangat sedih dan menderita, sebab sepasang tangannya kembali telah berlumur darah. Darah manusia!

Tiba-tiba si Kusir Kereta membusungkan dadanya lalu berteriak dengan suara lantang. “Sekalipun kau bunuh aku, jangan harap kau bisa lolos!”

“Aku tak akan pergi!” jawab A-chi. Kemudian dengan mimik wajah lebih berduka, sepatah demi sepatah ia melanjutkan, “Sebab aku sudah tiada jalan lain untuk pergi!”

Kemudian dengan mimik wajah lebih berduka, sepatah demi sepatah ia melanjutkan, "Sebab aku sudah tiada jalan lain untuk pergi!"

2 Februari 2018

A chiiiiiiii….. Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Harusnya ngedit Sardegna malahan bikin penpik wakakaka. Habis A-chi imut skali pas di scene ini. Jauh lebih manis daripada saat dia menerjang maju untuk membunuhi smua orang yang mengancam keluarga kekasihnya.

Entahlah, laki yang begini itu seksi maksimal wakkakakak (slap)

Fanfic Shirei yang lain :

Leave a Comment

error: Maaf, tidak diperkenankan klik kanan. Tautan akan terbuka langsung ke halaman baru.