Bolehkah Melanggar EYD demi Seni?

Mau belajar menulis novel 2025-2026?
Buka mentoring menulis novel, baik umum, asistensi sinopsis, dan privat.
Langsung Whatsapp 081212707424 untuk info lebih lanjut.
BACA JUGA :  Tips Menyusun Resolusi yang Cermat dan Cepat

Bolehkah Melanggar EYD demi Seni?

Halo, teman-teman!

Pernahkah kamu membaca sebuah puisi atau cerpen yang sengaja menabrak aturan penulisan? Kata-kata yang sengaja ditulis tidak baku, atau tanda baca yang dihilangkan untuk menciptakan ritme tertentu. Saat menghadapinya, pertanyaan klasik pasti muncul: Bolehkah melanggar EYD demi seni?

Pertanyaan ini bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, EYD (Ejaan yang Disempurnakan) hadir untuk menciptakan keseragaman dan memudahkan pemahaman. Di sisi lain, seni, termasuk sastra, sering kali lahir dari keberanian untuk keluar dari pakem. Sebelum kita memutuskan, mari kita telusuri dulu kedua sudut pandang ini.

 EYD sebagai Fondasi Dasar yang Kuat

Sebenarnya, EYD bukanlah musuh kreativitas. Justru, penguasaan terhadap aturan utama ini adalah fondasi yang membuat sebuah karya tulis bisa dinikmati banyak orang dengan mudah. Jangan memikirkan kalau EYD dan KBBI justru menjadi penghalang. Karena mengedit beda dengan menulis. 

Penanda Profesionalisme: Penggunaan EYD yang baik menunjukkan bahwa penulis menghargai bahasanya sendiri dan serius dengan karya yang dibangun.
Meminimalisir Ambiguitas: Tanda baca dan penulisan yang tepat mencegah kesalahpahaman. Contoh sederhana, koma yang tertinggal bisa mengubah makna seluruh kalimat.
Alat Komunikasi yang Efisien: EYD memastikan pesan penulis tersampaikan dengan jelas kepada pembaca dari berbagai latar belakang.

BACA JUGA :  Lima Kesalahan Umum Seorang Penulis dan Cara Memperbaikinya

Pada intinya, EYD adalah kesepakatan bersama agar kita bisa “berbicara” dalam bahasa yang sama melalui tulisan. Terus, di mana ruang untuk seni?

 Ketika Seni Meminta Kebebasan Berekspresi

Di lain pihak, sastra dan tulisan kreatif seringkali bukan sekadar soal menyampaikan informasi, tetapi juga tentang menciptakan pengalaman. Di sinilah argumen untuk melanggar EYD demi seni muncul.

 “Aturan dibuat untuk dipahami, bukan selalu untuk diikuti. Seorang seniman sejati tahu kapan waktunya taat dan kapan waktunya memberontak.”

 

Beberapa alasan kuat mendukung pandangan ini:

  1. Mencerminkan Karakter & Suasana Hati: Tokoh yang berasal dari daerah tertentu atau dari kalangan tidak terdidik, akan terasa lebih “hidup” jika dialognya ditulis sesuai logat bicaranya, meski itu tidak baku. Misalnya, menulis “gue” dan “lu” untuk menggambarkan setting percakapan yang kasual dan personal.
    2. Membangun Irama dan Nuansa: Dalam puisi, penyair sering mengabaikan huruf kapital atau tanda baca untuk menciptakan alur baca yang terus menerus, menggambarkan kekacauan pikiran, atau kesedihan yang mendalam. Irama yang dihasilkan adalah bagian dari seni itu sendiri.
    3. Menonjolkan Gaya Khas Penulis: Sebagaimana pelukis punya gaya brush stroke-nya sendiri, beberapa penulis mengembangkan “tanda tangan” linguistik dengan sedikit memodifikasi aturan untuk gaya personal mereka.

Jadi, Bolehkah Melanggar EYD demi Seni??

Quote Bolehkah melanggar EYD demi Seni

Menemukan Titik Temu: Pelanggaran yang Disengaja vs. Kesalahan

Inilah kunci dari seluruh perdebatan ini: niat dan kesadaran.

Pelanggaran yang Disengaja (Intentional Breaking): Seorang penulis yang mahir memilih untuk melanggar EYD demi seni. Dia mengetahui aturannya dengan baik, memahami konsekuensinya, dan dengan sengaja memutuskan untuk menabraknya untuk mencapai efek artistik tertentu yang tidak bisa dicapai dengan aturan baku. Ini adalah pilihan strategis.
Kesalahan (Error): Seorang penulis pemula yang belum menguasai EYD membuat kesalahan penulisan. Ini bukan pilihan artistik, melainkan ketidaktahuan. Kurang belajar.

BACA JUGA :  Tips Menyusun Plot, Alur, dan Kerangka

Jadi, jawaban dari “Bolehkah melanggar EYD demi seni?” sangatlah kontekstual.

Ibaratnya, seorang koki profesional yang sengaja tidak memakai takaran pasti untuk menciptakan rasa autentik, berbeda dengan orang yang baru belajar masak yang tidak tahu takaran yang benar. Yang pertama adalah seni, yang kedua adalah Shirei yang lagi masak di dapur [eh].

Kapan Melanggar EYD demi Seni Bisa Dipertimbangkan

Ada beberapa situasi di mana menyimpang dari EYD bisa punya alasan estetis atau naratif yang valid:

  • Diksi karakter: Jika seorang tokoh bicara dengan logat, dialek, atau kesalahan tata bahasa yang disengaja, menulis sesuai pelafalan dapat menambah kedalaman karakter.
  • Puisi dan prosa eksperimental: Puisi sering menata kata untuk irama, jeda, atau rima. Aturan ejaan kadang dilonggarkan demi musikalitas. kayak lirik lagu gitu.
  • Efek stilistika: Pengulangan huruf, penghilangan tanda baca, atau kapitalisasi non-standar dapat menekankan emosi atau kekacauan batin tokoh.

Ps : stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa dalam sebuah karya sastra, yang berfokus pada cara penggunaan bahasa secara khas untuk menciptakan efek tertentu.

BACA JUGA :  Tips Menyusun Resolusi yang Cermat dan Cepat

Namun, yang harus diingat, pilihan tersebut harus sadar dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan sekadar “cuek aturan” karena malas mengedit.

Risiko yang Harus Dipertimbangkan

Sebelum sengaja melanggar EYD, tanyakan pada diri sendiri beberapa hal:

  1. Apakah pembaca tetap mengerti pesan utama? Jika pembaca tersesat karena ejaan atau tanda baca yang aneh, seni kehilangan fungsi komunikatifnya.
  2. Apakah konteks mendukung penyimpangan? Dalam karya sastra eksperimental, pembaca mungkin sudah siap. Pada artikel informatif, penyimpangan akan membingungkan.
  3. Apakah eksperimentasi itu dilapisi opsi ‘versi standar’? Untuk karya panjang atau terbitan resmi, menyediakan versi editan EYD membantu pembaca yang butuh kejelasan dan penerbit.
  4. Apa implikasi profesionalnya? Untuk penerbit tradisional, pelanggaran EYD tanpa alasan kuat bisa menurunkan kredibilitas.

 Kuasai Aturannya Sebelum Memberontak

Jadi, apakah melanggar EYD demi seni diperbolehkan? Jawabannya adalah ya, dengan satu syarat mutlak: kita harus menguasai aturannya terlebih dahulu.

Dengan memahami EYD secara mendalam, pilihanmu untuk melanggarnya bukan lagi didasari oleh ketidaktahuan, melainkan oleh visi artistik yang jelas. Pemberontakan yang didasari pengetahuan akan terasa powerful dan bermakna, sementara pemberontakan yang berasal dari kebodohan hanya akan terlihat ceroboh.

Jadi, tugas kita sebagai penulis adalah: Teruslah belajar dan menghormati bahasa dengan menguasai EYD. Setelah itu, percayalah pada insting senimu untuk mengetahui kapan aturan itu bisa ditundukkan untuk melayani cerita dan emosi yang ingin kamu sampaikan.

Bagaimana pendapatmu? Apakah kamu pernah sengaja melanggar EYD dalam tulisannya? Ceritakan pengalamanmu di kolom komentar, yuk! Mari berdiskusi dengan santai.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Maaf, tidak diperkenankan klik kanan. Tautan akan terbuka langsung ke halaman baru.
Scroll to Top