Pernah nggak, kita sengaja mencari film, novel, atau drama dengan tema hubungan toxic meski tahu rasanya bakal ikutan galau? Shirei kadang begitu. Rasanya seolah ada magnet yang menarik kita ke konflik batin, pertengkaran dramatis, dan chemistry yang ‘nggak sehat’.
Padahal, di dunia nyata kita berusaha menjauhi yang toxic, tapi di dunia fiksi, sebaliknya: kita kadang mencari dan menenggelamkan diri di dalamnya.
Apalagi kalau kita ini penulis yang menulis genre atau trope begini. Shirei bukan penulis genre perselingkuhan. Namun, pasangan, keluarga, atau tetangga toxic adalah tema-tema yang Shirei tulis. Contohnya kumpulan novela cerita mamah muda berjudul Insecure ini. Alhamdulillah Maret 2025 diterbitkan GPU.
Nah, balik ke topik. Di postingan ini, kita bakal bahas kenapa cerita hubungan toxic justru punya daya tarik besar. Kita akan menelaah dari berbagai sudut—psikologis, naratif, hingga tren media sosial. Semoga tulisan ini bukan hanya berguna sebagai konten, tapi juga jadi pengingat bagi kita sendiri agar lebih bijak menyikapi apa yang kita konsumsi. Let’s dive in!
Kenapa Cerita Novel Hubungan Toxic Banyak Diminati?
1. Definisi & Contoh Singkat “Toxic Relationship”
Sebelum lanjut, yuk kita definisikan dulu apa itu hubungan toxic. Secara umum, hubungan toxic adalah interaksi antara dua orang yang menyebabkan stres, manipulasi, atau kerugian emosional bagi salah satu pihak (atau keduanya).
Contoh cerita toxic yang sering kita temui:
-
Pasangan yang saling cemburu akut dan mengekang kebebasan. Seperti suami yang menyuruh istri berhenti kerja, memblokir semua akses pertemanan, or the worst bahkan sama orang tua sendiri.
-
Komunikasi yang diwarnai hinaan atau silent treatment berkepanjangan.
-
Pola “putus–balikan” berkali‑kali tanpa penyelesaian.
- Perselingkuhan, tapi justru menyalahkan yang diselingkuhi.
Di ranah fiksi, tema ini banyak muncul dalam novel teenfiction, drama Korea, atau sinetron—karena konflik seperti ini mudah memancing emosi pembaca/penonton.
2. Kita Menemukan “Cermin” dalam Konflik Batin
Salah satu alasan kenapa cerita toxic begitu diminati adalah efek identifikasi. Kita secara sadar atau nggak sering melihat bayangan diri sendiri di dalam konflik karakter:
“Wah, aku juga pernah diperlakukan kayak gitu.…”
“Hmm, kayaknya aku pernah jadi pihak yang menahan pasanganku.”
Saat karakter fiksi menghadapi situasi yang sangat relatable, otak kita tertarik untuk “membuktikan” apakah kita benar‑benar memahaminya. Ini semacam refleksi diri: konflik orang lain membantu kita mengenali luka atau kesalahan sendiri.
Pun bukan kita yang mengalami, tapi orang tersayang yang mengalami, atau mungkin orang yang dekat dengan keseharian kita dan sering curhat ke kita pun bisa membuat kita jadi related sama masalah yang disajikan.
Imho, ini Kenapa Cerita Novel Hubungan Toxic Banyak Diminati? yang paling kena di Shirei.
3. Rasa Penasaran pada “Sisi Gelap” Hubungan
Tak bisa dipungkiri, sisi gelap selalu menarik. Kita cenderung penasaran melihat:
-
Bagaimana perasaan orang yang diperlakukan kasar secara psikologis?
-
Apa yang membuat si pelaku bersikap seperti itu?
-
Akhirnya mereka bisa “selamat” atau malah makin terbenam?
Rasa penasaran ini mirip sensasi “ingin tahu ending”—soalnya kita ingin melihat titik balik atau kejatuhan parah bagi si antagonis yang memuaskan rasa kesel setelah baca ceritanya. Hihih.
4. Efek Katarsis & “Healing” Batin
Meski terdengar kontradiktif, menonton atau membaca kisah toxic sering kali memberi kita katarsis:
-
Menangis atau marah atas nasib karakter, yang membuat kita melepaskan emosi terpendam.
-
Merasa lega karena skenarionya hanya fiksi—belum tentu kita akan mengalami hal sama.
-
Belajar melihat tanda‑tanda toxic dan berkomitmen untuk menjauhinya di real life.
Jadi, kadang kita jadi “sehat” justru lewat cerita yang tampaknya nggak sehat.
Makanya Shirei suka banget cerita vegence. Sesuatu yang nggak bisa terjadi di dunia nyata. Tapi satisfied banget kalau baca / nonton fiksinya. Kayak Brutal Satsujin, Taxi Driver, dll
5. Social Proof & Viralitas Drama Toxic
Di era media sosial, viralitas turut memengaruhi popularitas cerita toxic. Contoh:
-
Thread Twitter membahas istri yang dicerai karena tidak punya anak.
-
Reel TikTok memperlihatkan video seorang adik yang memaki-maki kakaknya yang tidak mampu membayar uang wisudanya
-
Di FB dab Thread ramai hujatan aneh pada seorang wanita yang meminta syarat suami tidak merokok dan salat lima waktu.
Lihat saja di poin terakhir bahwa syarat paling dasar tidak merokok dan salat saja, banyak yang memaki. Itu artinya memang banyak toxic people yang memengaruhi orang baik di sekitarnya. Semakin banyak orang membicarakan, makin banyak pula yang penasaran. Ini akhirnya jadi semacam “social proof”—jika teman saya suka, berarti pasti worth it.
6. Pembelajaran Moral & Peringatan Halus
Meski intens, banyak cerita toxic sebenarnya menyelipkan pesan moral:
-
“Jangan biarkan dirimu dimanfaatkan.”
-
“Kenali tanda‑tanda manipulasi sejak dini.”
-
“Berani menetapkan batas, atau tinggalkan sebelum terluka lebih parah.”
Kita kadang bisa mendapatkan ilmu “survival emotional” tanpa harus membaca buku psikologi tebal.
7. Elemen Narasi yang Memikat
Penulis dan sutradara pintar menambahkan “bumbu” agar cerita toxic makin sulit berhenti dibaca/tonton:
Elemen | Fungsi |
---|---|
Plot twist tiba‑tiba | Mengejutkan pembaca/penonton agar tetap terpaku |
POV internal | Membuat kita merasa jadi bagian konflik |
Relatable conflict | Memperkuat konflik karena related dengan kita |
Cinematic diary | Visual diary karakter, memperdalam empati |
Rumus ini menciptakan rollercoaster emosi yang bikin kita “ketagihan”.
8. Peran Media Sosial & Algoritma
Algoritma platform digital sering merekomendasikan konten yang memicu engagement tinggi: komentar panas, reaksi ngegas, share masif. Karena cerita toxic:
-
Memicu perdebatan (“Tokoh X toxic, si Y korban malahan yang disalahin!”)
-
Menimbulkan keinginan buat ikutan adu nasib or curhat
Algoritma pun melihat ini sebagai sinyal “konten menarik” dan terus menayangkan ke lebih banyak orang.
9. Nostalgia & Trauma Kolektif
Banyak dari kita tumbuh di lingkungan di mana konflik keluarga atau toxic relationship tak terhindarkan. Cerita-cerita fiksi seperti ini sering membangkitkan memori kolektif:
“Dulu ibu dan ayah sering cekcok, aku jadi nonton drama ini dengan perasaan campur aduk…”
Kebetulan atau tidak, sensasi nostalgia itu sering menambah daya tarik—karena kita “duduk” di ruang kenangan emosional masa lalu. Apalagi kalau sudah bisa mengatasinya.
10. Kesimpulan & Pesan untuk Kita
Sebagai pengingat untuk diri sendiri, semoga kita selalu mampu membedakan antara menikmati drama toxic dalam fiksi dan membiarkannya meracuni kehidupan nyata.
Apa cerita toxic favoritmu dan pelajaran apa yang kamu ambil?
Demikianlah postingan Kenapa Cerita Novel Hubungan Toxic Banyak Diminati?
Sampai jumpa di tulisan Shirei selanjutnya, dan tetap bijak dalam memilih cerita yang kita nikmati! ^^