TES HEADER BELOW HEADER

asdasdasdasd below header

Tutorial

3 Alasan Onomatope Dilarang Dipakai

Kamu tipe orang yang pake onomatope atau enggak? Buat yang masih bingung onomatope apaan, Onomatope adalah efek suara pada novel. Shirei udah kasih contoh-contohnya juga di sana.

Pernah nggak denger 3 Alasan Onomatope Dilarang Dipakai?

Di artikel kali ini, Shirei mau bahas soal kenapa sih kita sebaiknya tidak terlalu sering menggunakan onomatope. Kalau dibilang haram, sih, enggak juga, ya. Hanya saja, Onomatope kalau dipakai terlalu banyak, bisa mengacak-ngacak naskah. Kok bisa?

 

Mengapa Onomatope Berlebihan dalam Tulisan Mengurangi Feels?

Onomatope, kata yang menirukan bunyi seperti “dor!”, “kring!”, atau “brak!”, sering jadi jalan pintas penulis untuk menghidupkan adegan. Namun, terlalu sering menaburkan efek bunyi bisa menurunkan kualitas tulisan. Cus kita bongkar alasannya!

3 Alasan Onomatope Dilarang Dipakai

1. Mengganggu Alur Bacaan

Bayangkan kamu membaca novel serius, lalu setiap dua kalimat ada bunyi: “jedar!”, “plak!”, “glek!”. Alih-alih masuk ke suasana cerita, pembaca jadi terdistraksi seperti membaca komik. Alur terasa tersendat. Apalagi kalau efek suaranya nggak sesuai bayangan kita.

Kayak ada yang berpikir kalau menggedor pintu itu DOK DOK! Namun, ada yang BRAK BRAK. Otomatis khayalan ambyar.

2. Terkesan Kurang Profesional

Dalam karya sastra atau artikel non-fiksi, pembaca biasanya mengharapkan narasi yang matang. Onomatope berlebihan dalam tulisan bisa bikin tone cerita terasa kekanak-kanakan, seolah penulis malas mencari kata yang lebih kaya.

Bahkan, ketika Shirei menulis cerita anak dan menggunakan onomatope, Shirei mendapatkan masukan untuk tidak terlalu sering memasukkan. Padahal ini cerita anak yang dunianya masih penuh warna dan riuh. Apalagi cerita orang dewasa.

3. Membatasi Imajinasi Pembaca

Saat menulis “ting tong!” untuk suara bel pintu, kita memaksa pembaca mendengar bunyi yang sama. Padahal, setiap orang bisa punya pengalaman berbeda. Mungkin bel pintu mereka berbunyi lebih serak, lebih melengking, atau bahkan dangdutan. Imajinasi pun terpasung dengan sukses.

Kapan Onomatope Masih Boleh Digunakan?

Meski kita membicarakan “larangan”, bukan berarti onomatope harus dihapus total. Triknya ada di proporsi.

Sebagai Pemanis

Seperti garam dalam masakan, onomatope sebaiknya hanya dipakai secukupnya. Satu atau dua efek bunyi di adegan penting sudah cukup untuk memberi “ledakan” tanpa menguasai narasi.

Untuk Efek Komedi

Di genre komedi atau satire, onomatope bisa menjadi senjata humor. Misalnya: “Gedubrak! Joko jatuh dari kursi hanya karena melihat kecoa kecil.” Bunyi itu memperkuat kelucuan.

Ketika Tidak Ada Pilihan Kata Lain

Ada bunyi yang sulit dijelaskan dengan deskripsi panjang, misalnya ingin memberikan kejutan adegan pertengkaran dengan tamparan. Biar lebih cepat langsung kasih PLAK!. Pembaca pun langsung “Oh, dia ditampar!” tanpa harus pakai, “Lalu ML pun melayangkan tangannya dengan keras ke pipi FL.” yang terkesan lambat dan tidak mengejutkan.

***

Menulis itu tentang irama. Kalau semua kalimat penuh bunyi efek, pembaca jadi cepat lelah. Sebaliknya, tanpa satu pun bunyi, tulisan terasa hambar. Jadi, bagaimana menyeimbangkannya?

Gunakan Kata Kerja yang Deskriptif

Alih-alih “brak!”, coba: “Pintu itu terbanting keras hingga debunya beterbangan.”

Kata kerja “terbanting” + detail sensorik lebih kuat daripada onomatope tunggal.

Bangun Suasana dengan Detail Lain

Bunyi bisa digambarkan lewat respons karakter.

Contoh:
“Ketika kaca pecah, wajahnya menegang. Ada keheningan sejenak sebelum napasnya tercekat.”
Tanpa “crash!”, pembaca tetap bisa merasakan intensitas.

Sesuaikan dengan Genre

  • Komik & cerita anak: lebih toleran memakai onomatope. Bukan berarti bebas dipakai, ya.
  • Novel thriller: gunakan seperlunya, biar efek ketegangan terjaga.
  • Artikel ilmiah atau esai: hampir selalu dihindari.

Tips Menghindari Onomatope Berlebihan

  1. Baca keras-keras tulisanmu. Kalau terlalu banyak bunyi tiruan, telinga akan cepat lelah.
  2. Uji coba ke pembaca beta. Tanyakan, apakah bunyi yang kamu pakai terasa mengganggu atau justru memperkuat adegan.
  3. Edit dengan filter “visual vs audio” [Uji coba dengan membayangkan dan menyuarakan]. Pastikan efek bunyi bukan satu-satunya cara menggambarkan adegan.
  4. Gunakan maksimal 1–2 onomatope per bab (untuk novel).
  5. Catat alternatif deskripsi. Alih-alih “gedebuk”, tuliskan: “Tubuhnya jatuh menghantam lantai, menimbulkan getar yang menjalar ke kaki kursi.”

Jadi, gunakan secukupnya, pilih momen yang tepat, dan biarkan pembaca menikmati tulisanmu tanpa terganggu oleh efek bunyi yang tak perlu.

Inilah 3 Alasan Onomatope Dilarang Dipakai. Jika ada pertanyan, silakan komen aja, yaaa

 

Shireishou

Recent Posts

12 Tipe Mental Abuse untuk Novel

Artikel 12 Tipe Mental Abuse untuk Novel perlu dibaca agar permasalahan di novelmu lebih kaya.

56 minutes ago

7 Cara Menulis Plot Twist yang Bikin Pembaca Terkejut

7 Cara Menulis Plot Twist yang Bikin Pembaca Terkejut dan gagal move on. Pastikan kamu…

7 days ago

5 Teknik Menulis Genre Populer di Indonesia

5 Teknik Menulis Genre Populer di Indonesia agar cerita kamu disukai banyak orang. temukan rahasianya…

2 weeks ago

Bolehkah Melanggar EYD demi Seni?

Bolehkah Melanggar EYD demi Seni? Halo, teman-teman! Pernahkah kamu membaca sebuah puisi atau cerpen yang…

4 weeks ago

Modus Penipuan Penjualan Buku Preloved

Modus Penipuan Penjualan Buku Preloved   Akhir-akhir ini, Shirei lihat banyak banget korban penipuan buku…

1 month ago

Reading for Healing – 5 Cara Membaca Untuk Terapi Antistres

Reading for Healing: Cara Membaca Untuk Terapi Antistres. Shirei akan bahas lengkap di artikel ini

2 months ago

This website uses cookies.