Kamu tipe orang yang pake onomatope atau enggak? Buat yang masih bingung onomatope apaan, Onomatope adalah efek suara pada novel. Shirei udah kasih contoh-contohnya juga di sana.
Pernah nggak denger 3 Alasan Onomatope Dilarang Dipakai?
Di artikel kali ini, Shirei mau bahas soal kenapa sih kita sebaiknya tidak terlalu sering menggunakan onomatope. Kalau dibilang haram, sih, enggak juga, ya. Hanya saja, Onomatope kalau dipakai terlalu banyak, bisa mengacak-ngacak naskah. Kok bisa?
Onomatope, kata yang menirukan bunyi seperti “dor!”, “kring!”, atau “brak!”, sering jadi jalan pintas penulis untuk menghidupkan adegan. Namun, terlalu sering menaburkan efek bunyi bisa menurunkan kualitas tulisan. Cus kita bongkar alasannya!
Bayangkan kamu membaca novel serius, lalu setiap dua kalimat ada bunyi: “jedar!”, “plak!”, “glek!”. Alih-alih masuk ke suasana cerita, pembaca jadi terdistraksi seperti membaca komik. Alur terasa tersendat. Apalagi kalau efek suaranya nggak sesuai bayangan kita.
Kayak ada yang berpikir kalau menggedor pintu itu DOK DOK! Namun, ada yang BRAK BRAK. Otomatis khayalan ambyar.
Dalam karya sastra atau artikel non-fiksi, pembaca biasanya mengharapkan narasi yang matang. Onomatope berlebihan dalam tulisan bisa bikin tone cerita terasa kekanak-kanakan, seolah penulis malas mencari kata yang lebih kaya.
Bahkan, ketika Shirei menulis cerita anak dan menggunakan onomatope, Shirei mendapatkan masukan untuk tidak terlalu sering memasukkan. Padahal ini cerita anak yang dunianya masih penuh warna dan riuh. Apalagi cerita orang dewasa.
Saat menulis “ting tong!” untuk suara bel pintu, kita memaksa pembaca mendengar bunyi yang sama. Padahal, setiap orang bisa punya pengalaman berbeda. Mungkin bel pintu mereka berbunyi lebih serak, lebih melengking, atau bahkan dangdutan. Imajinasi pun terpasung dengan sukses.
Meski kita membicarakan “larangan”, bukan berarti onomatope harus dihapus total. Triknya ada di proporsi.
Seperti garam dalam masakan, onomatope sebaiknya hanya dipakai secukupnya. Satu atau dua efek bunyi di adegan penting sudah cukup untuk memberi “ledakan” tanpa menguasai narasi.
Di genre komedi atau satire, onomatope bisa menjadi senjata humor. Misalnya: “Gedubrak! Joko jatuh dari kursi hanya karena melihat kecoa kecil.” Bunyi itu memperkuat kelucuan.
Ada bunyi yang sulit dijelaskan dengan deskripsi panjang, misalnya ingin memberikan kejutan adegan pertengkaran dengan tamparan. Biar lebih cepat langsung kasih PLAK!. Pembaca pun langsung “Oh, dia ditampar!” tanpa harus pakai, “Lalu ML pun melayangkan tangannya dengan keras ke pipi FL.” yang terkesan lambat dan tidak mengejutkan.
Menulis itu tentang irama. Kalau semua kalimat penuh bunyi efek, pembaca jadi cepat lelah. Sebaliknya, tanpa satu pun bunyi, tulisan terasa hambar. Jadi, bagaimana menyeimbangkannya?
Alih-alih “brak!”, coba: “Pintu itu terbanting keras hingga debunya beterbangan.”
Kata kerja “terbanting” + detail sensorik lebih kuat daripada onomatope tunggal.
Bunyi bisa digambarkan lewat respons karakter.
Contoh:
“Ketika kaca pecah, wajahnya menegang. Ada keheningan sejenak sebelum napasnya tercekat.”
Tanpa “crash!”, pembaca tetap bisa merasakan intensitas.
Jadi, gunakan secukupnya, pilih momen yang tepat, dan biarkan pembaca menikmati tulisanmu tanpa terganggu oleh efek bunyi yang tak perlu.
Reading for Healing: Cara Membaca Untuk Terapi Antistres. Shirei akan bahas lengkap di artikel ini
5 Strategi Mengatasi Imposter Syndrome Hai! Coba jujur sama diri sendiri: Pernahkah kamu merasa, "Kok…
5 Strategi Menulis Review Buku di Instagram & TikTok yang Bikin Follower Kepo Halo,…
6 Cara Penulisan Angka dan Bilangan dalam Novel sesuai EYD 2025 Penulisan angka dalam novel…
4 Panduan Lengkap Beda Kata Depan dan Imbuhan Kalau mau di media sosial, kadang ada…
This website uses cookies.